NasionalismeNews-Dikutip dari buku DR.Maruarar Siahaan berkaitan penjelasan hukum pertanahan nasional yang meninggalkan sistem kolonial yang dualistis menjadi suatu sistem yang utuh berdasarkan hukum adat.
Menurut Hakim Konstitusi senior yang pernah menjabat dari tahun 2003 sampai 2006, dan Hakim Ketua pengadilan tinggi di berbagai daerah itu, bahwa hukum pertanahan nasional dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah didasarkan oleh hukum adat dan mengakui keberadaan eksitensi masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sepanjang masih hidup.
Tetapi, meski diketahui atas pengakuan dan perlindungan tersebut mengalami pelemahan dengan lahirnya undang-undang sektoral apalagi hak ulayat tersebut tidak secara tegas termuat dalam UUPA dengan merumuskan hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai rujukan hak ulayat tersebut.
Hak ulayat yang merupakan hak dari masyarakat hukum adat, di satu pihak memiliki aspek kewenangan yang bersifat hukum publik untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, dan di lain pihak memiliki aspek hukum keperdataan, yang mengatur hubungan hukum antara anggota masyarakat hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dan antara orang-orang dalam perbuatan, menimbulkan benturan dengan hak menguasaai negara dalam konstitusi.
Pengakuan hak ulayat dalam masyarakat yang berubah diassumsikan akan melemah seiring perubahan zaman, menyebabkan pengakuan dan penegasan hak ulayat tersebut dalam UUD 1945 setelah Perubahan, hampir tidak berarti dilihat dari tujuan kesejahteraan rakyat, karena pemberian hak-hak dan izin menggunakan lahan dengan skala besar kepada korporasi, menyingkirkan hak ulayat masyarakat hukum adat secara tidak adil.
Lahirnya konsep hak komunal atas tanah bagi masyarakat hukum adat dalam kebijakan pemerintahan, meskipun mengandung kelemahan formal karena suatu materi muatan undang-undang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria, namun konsep tersebut dapat menjadi jalan keluar saat ini dan dimasa yang akan datang. **
Oleh:Marulitua Siahaan