Utang Tersembunyi Indonesia dan Pembiayaan China

NasionalismeNews.com – Investigasi khusus mengungkap data-data terbaru mengenai apa yang disebut sebagai “utang tersembunyi” atau hidden debt Indonesia kepada lembaga pembiayaan asal Tiongkok. Temuan ini berasal dari laporan riset internasional yang menyoroti pembiayaan ratusan proyek di lebih dari 100 negara—termasuk Indonesia—yang sebagian tidak tercatat sebagai utang pemerintah secara resmi.

DATA  AIDDATA

Berdasarkan laporan Global Chinese Lending Dataset yang dirilis AidData, tercatat lebih dari 1,34 triliun proyek global USD  dibiayai oleh lembaga Tiongkok sejak 2000 hingga 2021. Dari jumlah itu, sekitar 385 miliar USD dikategorikan sebagai “hidden debt”, atau pembiayaan yang tidak tercatat sebagai utang negara karena diberikan melalui BUMN, joint venture, atau special purpose vehicle.

Dalam laporan tersebut, Indonesia berada dalam jajaran negara dengan eksposur lebih dari 17 miliar USD  pembiayaan non-pemerintah yang masuk kategori under-reported. Data ini didukung oleh analisis tambahan dari IMF dan World Bank melalui laporan *International Debt Statistics*, yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara pinjaman resmi yang dilaporkan dan nilai pembiayaan proyek-proyek besar yang dibiayai langsung oleh perusahaan Tiongkok.

IMF dan World Bank melalui laporan "International Debt Statistics"

GRAFIS PROYEK

Salah satu proyek terbesar yang masuk dalam radar internasional adalah Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Proyek ini dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank, senilai lebih dari 4,5 miliar USD , dengan bunga antara 3,4% hingga 4% dan tenor panjang.

Dokumen pendanaan proyek menyebutkan bahwa struktur pinjaman diberikan kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), bukan langsung kepada pemerintah Indonesia — sehingga sebagian beban finansial tidak masuk ke statistik utang luar negeri resmi.

Dalam laporan keuangan KCIC, tercatat adanya beberapa kali revisi pembiayaan, termasuk biaya proyek yang membengkak hingga Rp 20 triliun lebih dari perhitungan awal.

Sumber internal BUMN menyebutkan bahwa kenaikan biaya ini memicu negosiasi ulang antara pemerintah Indonesia dan kreditur Tiongkok terkait penambahan tenor dan skema pembayaran.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan menyatakan bahwa semua utang yang menjadi kewajiban negara telah tercatat resmi. Namun, pemerintah juga mengakui bahwa pembiayaan melalui BUMN tidak seluruhnya muncul dalam laporan ULN karena bukan merupakan utang negara langsung.

Kementerian Keuangan menegaskan:

“Pembiayaan yang dilakukan melalui BUMN atau entitas proyek tidak otomatis menjadi utang negara. Namun tetap dalam pengawasan risiko fiskal.”

Lalu bagaimana risiko dari skema seperti ini?

Para peneliti memperingatkan bahwa pembiayaan non-sovereign dapat berubah menjadi beban negara apabila:

– BUMN gagal membayar pinjaman,

– terjadi cost overrun,

– atau terdapat surat penjaminan yang mengikat keuangan negara.

Dalam sejumlah proyek global yang dibiayai China, beberapa negara—seperti Sri Lanka, Zambia, dan Laos—mengalami tekanan fiskal berat akibat kewajiban yang sebelumnya dianggap bukan utang negara.

Dalam konteks Indonesia, investigasi kami menemukan bahwa sejumlah dokumen primer penting diperlukan untuk memastikan sejauh mana risiko tersebut berdampak pada negara. Dokumen yang kami telusuri meliputi:

– Laporan SULNI dan ULN Bank Indonesia

– Facility Agreement pinjaman CDB

– Laporan keuangan audit BUMN

– Dokumen perjanjian joint venture KCIC

– Amandemen proyek dan revisi biaya

– Audit BPK dan BPKP

Dokumen-dokumen ini menunjukkan dengan jelas bahwa sebagian besar pinjaman tercatat sebagai kewajiban korporasi, bukan utang negara. Namun, klausul penjaminan tertentu dan catatan kewajiban kontinjensi tetap menimbulkan potensi beban bagi APBN jika terjadi gagal bayar.

Maka pertanyaannya: apakah benar Indonesia “dijual ke China melalui konsep utang”?

Jawabannya, secara hukum tidak ada dokumen yang menunjukkan penjualan aset negara.

Namun, secara ekonomi dan fiskal, peningkatan ketergantungan pada pembiayaan asing berisiko menekan fiskal negara jika tidak diawasi ketat.

Red. (19/11/2025) – 6.50 WIB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *