Nasionalisme News-Jakarta-Sepertinya,kalangan masyarakat petani asal propinsi Sumatera Utara ingin bertanya kepada DPR-RI terkait UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bertujuan untuk menjaga hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia sehingga keberadaanya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global ?
Pasalnya, kinerja para Dewan terhormat di Senayan itu di akhir-akhir ini sedang di sorot kalangan petani, sepertinya ada dugaan terjadi penguncian terhadap UU 18/2013 tentang Pemberdayaan Petani seperti sengaja di diamkan.
Informasi beredar di kalangan masyarakat petani, bahwa Kementerian pertanian dikasih hak untuk menjual, namun tidak boleh membuat Peraturan Pemerintah ( PP ) ?
Belum lama ini terungkap dari pihak Ombudsman Republik Indonesia menyebut, soal ada dugaan bahwa terjadi maladministrasi dalam program pengembangan lahan pangan skala besar yang direncanakan pemerintah membangun (food estate).
Katanya, paling utama bahwa proyek itu tidak ada dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.
Katanya lagi, bahwa pemerintah Indonesia, mencanangkan jutaan hektar hutan/lahan dan sudah teralokasi dalam proyek food estate ini di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, hingga Papua.
Proyek food estate disebut sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN) sesuai dalam Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Perubahan Perpres Nomor 3/2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
“Di mana cantolan food estate ini ? Target RPJMN ini telah ditandatangani pada Januari 2020, tetapi PP-Nya baru ada di bulan November 2020,” kata Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman RI dalam webinar bertajuk “Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisi Pangan Saat Pandemi”
Yeka dari Ombudsmen mengatakan, ada kemungkinan juga food estate ini bertentangan dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Belum lagi, lanjutnya, dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate tersebut.
“Tentu dari beberapa aturan ada potensi Permen LHK ini yang bertentangan dengan UU Kehutanan,” katanya.
Pihak Ombudsman sepakat akan mengkaji lebih jauh. Dia katakan, kalau Ombudsman juga terbuka mengajak organisasi masyarakat sipil bersama-sama mengawal proyek Food Estate dimaksud.
“Mari kita diskusikan temuan-temuan kita untuk memastikan proyek ini sesuai dengan cita-citanya mengatasi krisis pangan saat pandemi,” katanya.
Sementara itu, salah seorang tokoh pecinta Budaya adat batak dari wilayah Kab.Tapanuli Utara, Parulas Debataraja menyatakan kepada NasionalismeNews Minggu 21/8, kalau boleh jujur keberadaan food estate masuk PSN sebenarnya sudah membuat banyak keistimewaan yang tak wajar. Mulai dari nilai anggaran besar hingga regulasi-regulasi yang terkesan patut diduga telah terjadi penyalahgunaan di berbagai aturan maupun UU yang dilanggar, terangnya.
Dia pun menyinggung bahwa Permen LHK 24/2020. Jika dicermati pada Pasal 19 jelas disebutkan kalau kawasan hutan lindung yang tidak berfungsi bisa menjadi food estate.
Sementara pada Pasal 30, lanjut dia, mengatur, Keputusan Menteri tentang Pengelolaan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu (IPK).
“Berarti, pepohonan di dalam kawasan hutan lindung dapat ditebang dan memanfaatkan kayunya. Aneh tidak ?”, tandasnya.
Dilanjutkannya lagi, bahwa para petani tentu ada yang memahami pasal-pasal ini, kata dia tentu pasal demi pasal sudah jelas telah bertentangan dengan UU Kehutanan, juga bertabrakan terhadap putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. … Plang itu bertuliskan: “Hutan adat bukan lagi hutan Negara. Masyarakat adat melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat”.
Soalnya, lanjut dia, dengan jelas di Pasal 38 UU tersebut, dikatakan kalau pemanfaatan dalam kawasan hutan lindung terbatas pada hasil hutan bukan kayu.
“Yang lebih anehnya lagi ungkap putra asli huta tinggi ini, dikeluarkannya Permen ketika food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, sudah berjalan.
Jadinya, seperti sebuah aturan itu berlaku surut. Aneh bukan ?”, tandasnya.
Lebih jauh dia menyarankan, kalau proses administrasinya saja sudah terjadi kekeliruan, alias tidak terarah, sudah sepantasnya Jokowi segera mengganti menteri terkait. “Pak Jokowi harus turun, perbaiki administrasinya bila perlu segera diganti menterinya ,” pintanya.
Namun, mari bicara substansinya mengenai .food estate yang direncanakan itu. Apakah akan menambah produksi? Jika iya, bagus dong. Soal harga ?
Apakah sebaiknya dipikirkan posisi pihak Kementan agar tidak hanya gigit jari ? Soalnya, dari berbagai kabar burung karena harga nantinya ditentukan oleh pihak perdagangan lantaran itu kan menjadi domain Kemendag, pungkasnya.
“DPR seharusnya teriak untuk Kemendag, kapan perdagangan berpihak kepada petani sebagai stakeholder utama Indonesia yang ada di negara agraria ini ?”, Mengapa hanya memikirkan pengusaha investasi ? pungkasnya.
“Sepertinya, penting dipertanyakan ke DPR mengapa seperti mengunci UU 18/2013 tentang Pemberdayaan Petani? Kementan seharusnya dikasih hak untuk menjual tetapi nengapa tidak boleh membuat PP ? Bagaimana iya ?”, tandasnya. (ams/nn)